Jawaban asy-Syaikh Ibnu 'Abdil Wahhab tentang Awal Kewajiban yang Harus Diketahui Manusia
Beliau — semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya — juga ditanya tentang makna bait-bait syair ini:
أول واجب على الإنسان * معرفة الإله باستيقان
Kewajiban pertama atas seorang insan * adalah mengenal ilah dengan keyakinan.
Maka beliau menjawab:
Perkataan yang lebih lengkap untuk memahami maknanya adalah sebagai berikut,
أول واجب على الإنسان * معرفة الإله باستيقان
والنطق بالشهادتين اعتبرا * لصحة الإيمان ممن قدرا
إن صدق القلب وبالأعمال * يكون ذا نقص وذا إكمال
Kewajiban pertama atas manusia * adalah mengenal ilah dengan keyakinan.
Dan mengucapkan dua kalimat syahadat dianggap * sebagai syarat sahnya iman bagi yang mampu.
Sesungguhnya pembenaran hati dan amal perbuatan * dengannya iman bisa berkurang dan bertambah sempurna.
Penulis menyebutkan dalam perkataan ini lima masalah, dari masalah-masalah akidah, yang mereka namakan ushuluddin (pokok-pokok agama).
Pertama, terjadi perbedaan pendapat tentang kewajiban yang paling awal.
Ada yang mengatakan, "Nazhar (memperhatikan/merenungkan)." Ada yang mengatakan, "Bermaksud untuk melakukan nazhar." Ada pula yang mengatakan, "Mengetahui/mengenal."
Kedua, apakah cukup dalam masalah-masalah ushul (pokok) dengan taklid? Atau ghalabatuzh zhann (prasangka kuat)? Atau harus dengan keyakinan?
Penulis menyebutkan bahwa kewajiban dalam mengenal Allah adalah harus secara yakin.
Ketiga, apakah disyaratkan dalam kewajiban tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat? Atau seseorang sudah menjadi muslim hanya dengan pengetahuan?
Penulis menyebutkan bahwa seseorang tidak menjadi muslim, kecuali dengan mengucapkannya bagi yang mampu, dan orang yang menyelisihi hal ini adalah Jahm dan para pengikutnya; dan sungguh telah berfatwa al-Imam Ahmad dan para salaf lainnya, tentang kekafiran orang yang mengatakan bahwa seseorang menjadi muslim hanya dengan pengetahuan, dan dari masalah ini bercabang beberapa masalah. Di antaranya adalah orang yang diajak salat lalu menolak, padahal ia mengakui kewajibannya, apakah ia dibunuh karena ia kafir? Atau karena had? Orang yang mengatakan bahwa ia dibunuh karena had, mereka berpendapat bahwa ini adalah pokok masalahnya.
Keempat, Ibnu Karram dan para pengikutnya mengatakan bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, tanpa keyakinan hati, padahal mereka sepakat dengan Ahlus Sunnah bahwa orang tadi kekal di neraka, maka penulis menyebutkan bahwa bersamaan dengan ucapan lisan harus ada pembenaran hati.
Kelima, masalah yang masyhur, yaitu apakah amal perbuatan termasuk iman? Dan iman bertambah dan berkurang dengannya? Atau tidak termasuk iman?
Orang yang menyelisihi hal ini adalah Abu Hanifah dan para pengikutnya, yang dinamakan sebagai Murji'ah Fuqaha' (Murji'ah dari kalangan ahli fikih).
Maka, penulis mengunggulkan mazhab salaf bahwa amal perbuatan termasuk iman dan bahwasanya iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Jika hal ini telah tetap, maka semua masalah ini jelas, kecuali masalah pertama, yang ditanyakan, yaitu mengenal ilah), apakah itu?
Hendaknya engkau memperhatikan hal ini, karena ia adalah pokok agama, dan ia yang membedakan antara muslim dan kafir.
Pokok masalah ini adalah firman Allah Ta'ala,
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
"Barang siapa berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pengasih (al-Qur'an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah teman yang selalu menyertainya." [QS. az-Zukhruf: 36]
Dzikrurrahman (pengajaran Tuhan Yang Maha Pengasih) adalah al-Qur'an.
Ketika manusia mencari petunjuk dari selainnya, maka Allah menyesatkan mereka, dan mengadakan bagi mereka setan, lalu setan itu menghalangi mereka dari pokok segala pokok (tauhid), dan bersamaan dengan itu mereka menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Penjelasannya adalah bahwa yang dimaksud bukanlah pengetahuan global tentang ilah, yaitu pengetahuan manusia bahwa ia memiliki Pencipta, karena ini adalah sesuatu yang dharuri (niscaya) dan fitri (bawaan); akan tetapi maksud mengenal ilah adalah apakah sifat ini khusus bagi Allah, tidak ada yang menyekutui-Nya dalam hal ini, baik malaikat yang dekat (maupun nabi yang diutus? Atau diberikan kepada selain-Nya sebagian darinya?!
Adapun kaum muslimin, para pengikut para nabi, maka ijmak mereka adalah bahwa sifat ini khusus bagi Allah, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, 'Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.'" [QS. al-Anbiya': 25]
Sedang orang-orang kafir meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Maha Besar, akan tetapi bersama-Nya ada ilah-ilah lain yang memberi syafaat di sisi-Nya.
Demikian juga para ahli kalam dari kalangan orang yang mengaku Islam, akan tetapi Allah menyesatkan mereka dari mengenal ilah. Disebutkan dari al-Asy'ari dan para pengikutnya bahwa Dia adalah al-Qadir (Yang Maha Kuasa) dan bahwa makna Uluhiyyah adalah qudrah (kekuasaan). Jika kita mengakui hal itu, maka itu adalah makna dari perkataan, "Laa ilaaha illallah." Kemudian setan menguasai mereka, mereka menyangka bahwa tauhid tidak terwujud selain dengan menafikan sifat-sifat Allah, maka mereka menafikannya, dan menamai orang yang menetapkannya sebagai Mujassim.
Ahlus Sunnah membantah mereka dengan dalil-dalil yang banyak. Di antaranya adalah bahwa tauhid tidak sempurna selain dengan menetapkan sifat-sifat Allah dan bahwa makna al-ilah adalah al-ma'bud (yang disembah). Dia Subhanahu wa Ta'ala Maha Esa dalam hal ini, dari seluruh makhluk, dan ini adalah sifat yang benar, tidak berdusta orang yang menyifati-Nya dengannya. Ini menunjukkan adanya sifat-sifat Allah yang menunjukkan ilmu yang agung dan kekuasaan yang agung.
Dua sifat ini adalah pokok seluruh sifat, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاَطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْماً
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu." [QS. ath-Thalaq: 12]
Jika Allah telah mengingkari peribadatan kepada sesuatu yang tidak memiliki manfaat maupun mudarat bagi orang yang menyembahnya, maka diketahui bahwa ini mengharuskan adanya ilmu tentang kebutuhan hamba-hamba, baik yang berbicara maupun yang tidak; dan mengharuskan adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan mengharuskan adanya rahmat yang sempurna, kelembutan yang sempurna, dan sifat-sifat lainnya; maka barang siapa mengingkari sifat-sifat Allah, maka ia adalah seorang Mu'aththil (orang yang meniadakan sifat-sifat Allah), sedang orang-orang Mu'aththil lebih buruk daripada orang-orang musyrik.
Oleh karena itu, para salaf menamai karya-karya tulis dalam menetapkan sifat-sifat Allah sebagau kitab-kitab tauhid. A-Bukhari mengakhiri kitab Shahih-nya dengan hal itu. Beliau berkata, "Kitab Tauhid." Beliau kemudian menyebutkan sifat-sifat Allah, bab demi bab.
Jadi, inti masalah ini adalah bahwa para ahli kalam mengatakan bahwa tauhid tidak sempurna selain dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Sedang Ahlus Sunnah berkata bahwa tauhid tidak sempurna selain dengan menetapkan sifat-sifat Allah; dan bahwasanya tauhid kalian (wahai para ahli kalam) adalah ta'thil (peniadaan sifat-sifat Allah). Oleh karena itu, perkataan ini membawa sebagian mereka kepada pengingkaran terhadap Rabb Tabaraka wa Ta'ala, sebagaimana mazhab Ibnu 'Arabi, Ibnul Faridh, dan sekelompok besar manusia yang tidak dapat dihitung jumlahnya selain oleh Allah.
Ini adalah penjelasan atas perkataanmu, "Apakah yang dimaksud adalah sifat-sifat? Atau perbuatan-perbuatan?"
Para salaf menjelaskan bahwa ibadah jika seluruhnya hanya untuk Allah dari semua makhluk, maka tidak akan terwujud selain dengan menetapkan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah, sehingga jelaslah bahwa orang yang mengingkari sifat-sifat Allah itu mengingkari hakikat Uluhiyyah, akan tetapi ia tidak menyadarinya.
Demikian pula jelas bagimu bahwa barang siapa bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, dengan jujur dari hatinya, maka ia pasti menetapkan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah; akan tetapi sungguh mengherankan sangkaan imam besar mereka bahwa makna Uluhiyyah adalah qudrah (kekuasaan), dan bahwa makna perkataan, "Laa ilaaha illallah," adalah tidak ada yang mampu menciptakan selain Allah!
Jika engkau memahami ini, maka jelas bagimu betapa besar kekuasaan Allah untuk menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, meskipun ia memiliki kecerdasan dan pemahaman, seolah-olah mereka tidak memahami kisah iblis, tidak pula kisah kaum Nuh, 'Ad, Tsamud, dan seterusnya, sebagaimana perkataan Syaikhul Islam di akhir kitab al-Hamawiyyah,
"Mereka diberi kecerdasan, namun tidak diberi kesucian jiwa. Mereka diberi ilmu, namun tidak diberi pemahaman. Mereka diberi pendengaran, penglihatan, dan hati."
فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلا أَبْصَارُهُمْ وَلا أَفْئِدَتُهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآياتِ اللَّهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
"Maka pendengaran, penglihatan, dan hati mereka tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka diliputi oleh (azab) yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan." [QS. al-Ahqaf: 26]
Wallahu a'lam.
Penerjemah: Febby Angga
Posting Komentar