Surat asy-Syaikh Ibnu 'Abdil Wahhab kepada Muhammad bin 'Abbad dan Penjelasan Kesalahannya dalam Beberapa Masalah
Beliau — semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya, melimpahkan kepadanya curahan kebaikan-Nya, serta melimpahkannya secara terus-menerus — juga memiliki surat:
Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad bin 'Abdul Wahhab kepada Saudara Muhammad bin 'Abbad — semoga Allah memberinya taufik kepada apa yang Dia cintai dan ridai -.
Salamun 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Adapun kemudian;
Telah sampai kepadaku lembaran-lembaran tentang tauhid, yang di dalamnya terdapat perkataan yang baik, termasuk perkataan yang paling baik. Semoga Allah memberimu taufik kepada kebenaran.
Engkau menyebutkan di dalamnya bahwa keinginanmu adalah agar aku menjelaskan kepadamu, jika di dalamnya terdapat sesuatu yang aku anggap keliru, maka ketahuilah — semoga Allah membimbingmu — bahwa di dalamnya terdapat beberapa masalah yang keliru:
Pertama, perkataanmu, "Kewajiban pertam atas setiap laki-laki dan perempuan adalah melakukan nazhar (pengamatan dan pemikiran mendalam) kepada wujud (alam semesta), kemudian mengetahui akidah, dan kemudian ilmu tauhid."
Ini adalah kesalahan. Ini termasuk ilmu kalam yang telah disepakati oleh para salaf untuk dicela. Sesungguhnya yang dibawa oleh para rasul sebagai kewajiban pertama adalah tauhid, bukan melihat kepada wujud, bukan pula mengetahui akidah, sebagaimana yang engkau sebutkan di dalam lembaran-lembaran tersebut, bahwa setiap nabi berkata kepada kaumnya,
اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
"Sembahlah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) bagimu selain Dia." [QS. al-A'raf: 59]
Kedua, perkataanmu tentang iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan seterusnya, bahwa iman adalah pembenaran secara pasti terhadap apa yang dibawa oleh rasul.
Ini tidak benar, karena Abu Thalib, paman beliau, juga yakin secara pasti, dan orang-orang mengenalnya sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka.
Orang-orang yang mengatakan bahwa iman adalah pembenaran secara pasti, mereka adalah kaum Jahmiyyah, dan sungguh keras pengingkaran para salaf terhadap mereka dalam masalah ini.
Ketiga, perkataanmu, "Jika dikatakan kepada orang awam dan semisalnya: Apa dalil bahwa Allah Tabaraka wa Ta'ala adalah Rabb-mu?"
Kemudian engkau menyebutkan apa dalil tentang pengkhususan ibadah hanya kepada Allah dan engkau menyebutkan dalil tentang tauhid Uluhiyyah.
Ketahuilah bahwa makna Rububiyyah dan Uluhiyyah bisa berkumpul dan bisa berpisah, sebagaimana dalam firman Allah,
أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ
"Aku berlindung kepada Rabb (Penguasa) manusia, Raja manusia, sembahan (ilah) manusia." [QS. an-Nas: 1-3]
Sebagaimana dikatakan, "Rabb semesta alam dan ilah para rasul."
Ketika disebutkan secara terpisah, maka keduanya berkumpul maknanya, sebagaimana dalam perkataan seseorang, "Siapa Rabb-mu?"
Contoh lainnya adalah kata fakir dan miskin, ia disebutkan dua bentuk dalam firman Allah,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin." [QS. at-Taubah: 60]
Namun ia disebutkan satu bentuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Allah mewajibkan atas mereka sedekah, yang diambil dari orang-orang kaya mereka, lalu dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka."
Jika hal ini telah jelas, maka perkataan dua malaikat kepada seseorang di kubur, "Siapa Rabb-mu?" Maknanya adalah siapa ilah (sesembahan)-mu, karena Rububiyyah juga diakui oleh kaum musyrikin, tidak seorang pun diuji dengannya.
Demikian pula firman Allah,
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلاَّ أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ
"(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, 'Rabb kami hanyalah Allah.'" [QS. al-Hajj: 40]
Dan firman-Nya,
قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبّاً
"Katakanlah, 'Apakah aku akan mencari rabb selain Allah?'" [QS. al-An'am: 164]
Dan firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami ialah Allah,' kemudian mereka meneguhkan pendirian." [QS. Fushshilat: 30 dan al-Ahqaf: 13]
Jadi, Rububiyyah dalam ayat-ayat ini adalah Uluhiyyah, bukan bagian yang terpisah darinya, sebagaimana ia menjadi bagian yang terpisah ketika disebutkan bersamaan, maka hendaknya engkau memperhatikan masalah ini.
Keempat, perkataanmu tentang dalil penetapan kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dalilnya adalah al-Kitab (al-Qur'an) dan as-Sunnah, kemudian engkau menyebutkan ayat-ayat, maka ini adalah perkataan orang yang tidak memahami masalah ini.
Ini dikarenakan orang yang mengingkari kenabian, atau ragu terhadapnya, jika engkau berdalil kepadanya dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka ia akan berkata,
"Bagaimana engkau berdalil dengan sesuatu terhadap apa yang dibawanya kecuali dari dirinya sendiri?!"
Yang benar dalam masalah ini adalah engkau berdalil kepadanya dengan tantangan (tahaddi) dengan surat terpendek dari al-Qur'an, atau dengan persaksian ulama ahli kitab, sebagaimana dalam firman Allah,
أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرائيلَ
"Dan apakah tidak menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?" [QS. asy-Syu'ara': 197]
Ini dikarenakan mereka (ahli kitab) mengenalnya sebelum beliau keluar (menjadi nabi), sebagaimana dalam firman Allah,
وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا
"Padahal sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir." [QS. al-Baqarah: 89]
Demikian juga dengan yang selain itu dari ayat-ayat yang memberikan faedah pembatasan dan memutus hujah lawan.
Kelima, perkataanmu, "Ketahuilah, wahai saudaraku, semoga engkau tidak mengetahui sesuatu yang dibenci," maka ketahuilah bahwa perkataan ini bertentangan dengan tauhid. Hal itu karena tauhid tidak dikenal selain oleh orang yang mengenal jahiliah dan jahilah adalah sesuatu yang dibenci. Barang siapa tidak mengetahui sesuatu yang dibenci, maka ia tidak mengetahui kebenaran.
Makna perkataanmu ini adalah, "Ketahuilah, semoga engkau tidak mengetahui kebaikan."
Barang siapa tidak mengetahui sesuatu yang dibenci untuk menjauhinya, maka ia tidak mengetahui sesuatu yang dicintai.
Secara keseluruhan, ini adalah perkataan orang awam jahiliah, dan tidak layak bagi ahli ilmu untuk mencontoh orang-orang bodoh.
Keenam, ucapan pemastianmu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Carilah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina."
Ini tidak layak bagi seseorang menggunakan kalimat pemastian atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sesuatu yang ia tidak ketahui kebenarannya dan itu adalah perkataan tanpa ilmu.
Seandainya engkau berkata, "Diriwayatkan," atau, "Disebutkan oleh Fulan," atau, "Disebutkan dalam kitab Fulan," niscaya ini lebih pantas.
Adapun menggunakan kalimat pemastian pada hadis-hadis yang tidak sahih, maka tidak diperbolehkan.
Perhatikanlah masalah ini. Betapa banyak orang yang terjerumus ke dalamnya.
Ketujuh, perkataanmu tentang pertanyaan dua malaikat dan Kakbah adalah kiblatku, dan demikian, dan demikian.
Yang aku ketahui dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bahwa keduanya bertanya tentang tiga hal, yaitu tentang tauhid, tentang agama, dan tentang Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jika engkau memiliki yang keempat dalam hal ini, maka beritahukanlah kepada kami. Tidak diperbolehkan menambah-nambahi atas apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedelapan, perkataanmu tentang iman kepada takdir bahwa itu adalah iman bahwa tidak ada sesuatu yang kecil maupun besar selain dengan kehendak dan keinginan Allah dan hendaknya mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, maka ini adalah kesalahan; karena Allah Subhanahu memiliki penciptaan, perintah, kehendak, dan keinginan; dan Dia memiliki syariat dan agama.
Jika hal ini telah jelas, maka mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan adalah iman kepada perintah, yaitu iman kepada syariat dan agama, dan ini tidak disebutkan sebagai definisi iman kepada takdir.
Kesembilan, perkataanmu tentang ayat-ayat yang digunakan dalam berhujah dengan takdir, seperti firman Allah Ta'ala,
وَقَالَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا عَبَدْنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ
"Dan berkatalah orang-orang musyrik, 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu pun selain Dia.'" [QS. an-Nahl: 35]
Kemudian engkau berkata, "Maka hati-hatilah engkau dari mencontoh kaum musyrikin dalam berhujah atas Allah dan cukuplah bagimu dari takdir itu beriman kepadanya."
Apa yang aku sebutkan dalam tafsir ayat-ayat ini berbeda dengan makna yang engkau maksudkan, maka rujuklah dan renungkanlah dengan hatimu.
Jika telah jelas bagimu, jika tidak, maka rujuklah kepadaku tentangnya, karena ini adalah pembahasan yang panjang.
Penerjemah: Febby Angga
Posting Komentar